TENGKU YAHYA

SULTAN KEENAM
SULTAN YAHYA ABDUL JALIL MUZAFFAR SYAH
(1782-1784)


Tengku Yahya adalah putera pertama Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah dengan Isterinya Tengku Tipah puteri Sultan Mansur Marhum Janggut dari Kerajaan Terengganu. Dari perkawinan Sultan Ismail dengan Tengku Tipah mendapat satu orang anak laki-laki yang diberi nama Tengku Yahya dan satu orang anak perempuan bernama Tengku Puteri.
            Setelah Tengku Yahya dinobatkan menjadi Sultan Siak tahun 1781 dengan gelar Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah. Tidak banyak yang dilakukan oleh Sultan yahya ini karena pada masanya banyak timbul pertentangan di kalangan keluarga kerajaan. Untuk menghindari perselisihan, maka Sultan Yahya memindahkan ibukota kerajaan sebagai pusat pemerintahan dari Bandar Senapelan ke Mempura. Sedangkan panglima perang kerajaan Siak tetap diberikan kepada Syarif Ali putera Syarif Usman dangan isteri Tengku Embong Badariah.
            Selama Sultan Yahya memegang pemerintahan Kerajaan Siak, Tengku Syarif Ali kadangkala melanggar kepercayaan yang diberikan sehingga Sultan Yahya kewalahan dan akhirnya menimbulkan permasalahan bagi kerajaan. Ambisi Syarif Ali sudah kelihatan untuk menjadi Sultan dan menjurus kepada melakukan cop de tat ( mengambil alih kekuasaan). Hal yang demikian membuat Sultan Yahya banyak menguras tenaga dan fikiran untuk mengatasi masalah dan perilaku yang dibuat oleh Syarif Ali. Dengan alasan demikianlah Sultan Yahya memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Siak tersebut, dengan maksud dapat membenahi kembali kerajaan Siak yang pernah dibangun oleh Datoknya di Mempura.     
            Pada pemerintahan Sultan Yahya, kompeni Belanda terus merongrong Sultan Yahya agar perjanjian tahun 1761 harus ditaati. Disamping itu Siak membantu Selangor karena Selangor dikuasai oleh Bugis. Selangor dapat diduduki sehingga Sultan Ibrahim Raja Selagor dapat disingkirkan. Untuk mengatur pemerintahan Selagor maka Syarif Ali didudukkan sebagai pemegang kerajaan Selagor. Tidak lama menduduki Selagor kemudian Syarif Ali diusir oleh Sultan Ibrahim lalu Syarif Ali kembali ke Siak.  
            Sementara di Siak, Sultan Yahya telah mentaati perjanjian dengan Kompeni Belanda yang dibuat oleh Raja Alam pada tahun 1761 dengan membuat perjanjian baru pada tanggal 12 Maret 1783. Perjanjian tersebut mengandung isi bahwa timah yang berasal dari Rokan akan dijual kepada kompeni Belanda. Akibatnya Sultan Yahya mendapat pujian dari kompeni sehingga Belanda memberi bantuan senjata berupa senapan, meriam dan mesiu untuk dapat menghadang pasukan Raja Haji dari Riau.
            Perseteruan Sultan Yahya dengan Syarif Ali semakin memuncak. Syarif Ali anak Tengku Embung Badariah dengan Syarif Usman datang menyerang Sultan Yahya. Syarif Ali mengambil kekuasaan kerajaan Siak dari tangan dua pupunya itu. Sultan yahya meninggalkan istana dengan hati yang sedih. Kemudian beliau tinggalkan negeri Siak yang dibangun oleh moyangnya Raja Kecik yang berketurunan Melayu sejati. Sultan Yahya keturunan Melayu Johor pergi membawa diri atau menyingkir ke Kampar dan ke Retih di tempat Tengku Akil puteraTengku Alamuddin Syah. Tiada lama di sana beliau meneruskan perjalanannya ke Melaka untuk melanjutkan pulang keliau negeri ibundanya di Terengganu dalam rangka menziarahi makam nenek moyangnya. Setelah beberapa tahun di Terengganu beliau tinggal di : Kampong Che Lijah Dungun.
              Sultan Ahmad putera Tengku Zainal Abidin II Sultan Kerajaan Terengganu, menggantikan ayahandanya menjadi Sultan Terengganu ke-5, Sultan Ahmad Syah kemudian menikah dengan Tengku Puteri anak Raja Siak dengan mas kawinnya ialah Wilayah Dungun. Dengan istri beliau Tengku Puteri beliau mendapat seorang putera yang bernama Tengku Daud semasa pemerintahan Sultan Ahmad Syah beberapa kaum kerabat dari Siak datang ke Terengganu dan mendapatkan tempat dalam pemerintahan negeri Terengganu diantaranya Tengku Wook yang dilantik menjadi pemerintah keamanan. Setelah Sultan Ahmad mangkat beliau bergelar marhum Parit. Oleh karena itulah Sultan Yahya tinggal di Kampong Che Lijah di wilayah Dungun.

            Pada tahun 1784 Sultan Yahya mangkat di Dungun karena mengalami sakit stress dan dimakamkan di Dungun dengan Gelar Marhum Mangkat di Dungun.