TENGKU ALAM

SULTAN KEEMPAT
SULTAN ABDUL JALIL ALAMUDDIN SYAH
(1766-1780)


Sultan Ismail sangat mematuhi wasiat ayahnya dan setelah pamannya tiba di Siak, tahta kerajaan diserahkan kepadanya dan pada tahun 1766 Raja Alamuddin dinobatkan sebagai sultan ke-4 dengan gelar Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah.

Raja Alam dibesarkan di Kerajaan Siak yang berpusat di Buantan bersama adiknya lain ibu, Tengku Muhammad yang dipanggil Tengku Buwang Asmara. Mereka berdua ditempa dan dididik dengan pengetahuan agama, pemerintahan, adat istiadat dan dilatih untuk membela diri yang ditempa oleh ayahandanya untuk menjadi panglima perang yang perkasa.

Setelah ibunda Tengku Muhammad yang bernama Tengku Kamariah Mangkat dan Raja Kecik sering sakit-sakitan dan tak mau mengurus kerajaan. Maka Raja Alam ditunjuk sebagai Raja Muda dan Tengku Muhammad (Tengku Buwang) ditunjuk sebagai calon Sultan pengganti Raja Kecik. Peristiwa inilah yang membuat Raja Alam kecewa, dan akhirnya beliau beserta pengikut-pengikutnya mengundurkan diri dari kerajaan Siak dan pergi berlanglang buana ke Selat Melaka. Akhirnya menetap di Batu Bara Deli.

Putera Tengku Alam yang bernama Tengku Muhammad Ali, pada pemerintahan Sultan Muhammad Mahmud menjabat sebagai panglima perang. Beliau melaksanakan tugas sampai kepada masa pemerintahan Sultan Ismail. Sewaktu Tengku Ismail dinobatkan sebagai Sultan Siak, maka terjadi selisih paham antara Tengku Muhammad Ali dengan Sultan Ismail yang berstatus adik sepupunya. Tengku Muhammad Ali mempertanyakan mengapa tidak ayahandanya Raja Alam yang diangkat sebagai Sultan menggantikan Sultan Mahmud. Namun pertanyaan itu tetap menjadi sebuah pertanyaan yang tiada jawaban. Setelah Raja Alam dinobatkan menjadi Sultan kerajaan Siak ke IV, puteranya Tengku Muhammad Ali diangkat menjadi wakil Sultan. Tengku Muhammad Ali seorang panglima perang yang pemberani serta pandai memimpin laskarnya dalam Medan perang dan sangat bijaksana.


Raja Alam merebut tahta kerajaan Siak dan belot dengan Belanda.

            Sebelum Raja Alam menjadi Sultan Siak, beliau seorang putera kerajaan Siak yang banyak membuat kekacauan di Selat Melaka, sehingga kompeni Belanda maupun pedagang-pedagang di Selat Melaka sering menjadi sasaran rampokan dari Raja Alam. Kemudian disebabkan merasa tidak aman di Batu Bara, maka Raja Alam melanjutkan perjalanannya ke Siantan dengan membawa pengikut yang dihimpunnya berjumlah 500 orang yang terdiri berbagai bangsa dan suku. Dalam catatan Netscher disebutkan bahwa mereka merupakan pengembara yang mempunyai kapal-kapal dari hasil rampokannya. Seperti tiga puluh senjata berat dan puluhan senapan tangan. Kapal-kapal yang lewat di Selat Melaka atau dilaut Cina Selatan, baik kapal kompeni ataupun kapal-kapal Eropa tidak lepas dari rampokannya. Kapal Inggris “Nancy" yang sarat muatan barang-barang berharga habis dirampok oleh pengikut Raja Alam dan kapten kapal itu bernama Thomas Halnes terbunuh.33
           
            Dengan adanya keganasan perampokan yang terjadi di Laut Siantan, maka Sultan Mansyur Terengganu meyakinkan mertuanya Sultan Sulaiman dan menghimpun kekuatan. Pada tanggal 5 Oktober 1748 pasukan Sultan Mansyur Terengganu berangkat ke Siantan untuk mengusir Raja Alam, akan tetapi misi ini tidak berhasil dan akhirnya meminta bantuan dari Daeng Kamboja, namun juga tidak berhasil, karena Daeng Kamboja tidak mau memerangi kemanakannya sendiri. Raja Alam menikahi Daeng Khatijah puteri Daeng Perani. Sedangkan Daeng Perani adalah saudara Daeng Kamboja.
            Semua hasil rampokan dibawa ke Borneo (Kalimantan) karena Raja Alam mendapat perlindungan dari Ratu Mengkurat sehingga pasukan Sultan Sulaiman Johor dan Sultan Mansyur Terengganu kembali ke Johor. Demikianlah kisah pertualangan Raja Alam di Selat Melaka dan di laut Cina Selatan. Dikarenakan kompeni Belanda sangat kewalahan menghadapi Raja Alam, maka kompeni Belanda di Melaka mengundang Raja Alam untuk berdamai. Hal ini disebabkan oleh pengamatan Kompeni Belanda terhadap terjadinya pertikaian putera-putera Raja Kecik antara Tengku Muhammad dengan Raja Alam akan mendatangkan keuntungan bagi kompeni. Dengan damainya Raja Alam dengan kompeni, maka kompeni bermaksud akan membantu Raja Alam mengambil tahta kerajaan Siak dari Sultan Mahmud.

            Undangan perdamaian tersebut memang dihadari oleh Raja Alam dan dibuatlah perjanjian yang bersifat kontrak antara Raja Alam dengan kompeni Belanda pada tanggal 16 Januari 1761 yang berbunyi antara lain :

            “Raja Alam menyerah kepada kompeni dan bersahabat dengan Johor. Kompeni membantu Raja Alam menyerang Sultan Mahmud untuk mengambil tahta kerajaan Siak. Membenarkan kembali pendirian loji dan benteng di pulau Guntung serta menghukum orang-orang Siak yang membantai orang Belanda di pulau Guntung, dan lain-lainnya yang terdiri 13 pasal.”34

                Atas bantuan kompeni Belanda yang igin membalas dendam kepada Sultan Mahmud, Raja Alam dapat menduduki kerajaan Siak yang belum sempat dilantik secara hokum dan adat kerajaan. Sultan Mahmud dan Puteranya Tengku smail, Tengku Muhammad Ali putera Raja Alam dan para pengikutnya mengundurkan diri ke Pelalawan dan meminta bantuan kepada Sultan Sulaiman dan Sultan Mansyur. Berselang tidak begitu lama, Raja Alam dapat dihalau kembali dari Siak oleh Sultan Mahmud dengan bantuan berpuluh kapal dan alat senjata dengan laskar yang terpilih.

            Setelah kembalinya Sultan Muhammad di Siak dan beberapa tahun kemudian Sultan Muhammad Mahmud wafat, tahta kerajaan Siak dipegang oleh Sultan Ismail puteranya, kemudian menimbulkan perselisihan paham dengan Tengku Muhammad Ali putera Raja Alam. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh kompeni Belanda mengambil kesempatan melakukanan politik pecah belah antara kerabat kerajaan Siak. Belanda terus menghubungi Raja Alam dan segala tipu dayanya membujuk Raja Alam untuk kembali menyerang Siak dan Belanda akan membantu menyingkirkan kemanakannya yang sedang berkuasa. Raja Alam bersedia menerima tawaran tersebut, asalkan Belanda berjanji tidak mencampuri urusan keluarga kerajaan Siak. Syarat tersebut disanggupi oleh Belanda dan menyatakan bahwa harapannya untuk menempatkan Raja Alam di kerajaan Siak adalah untuk mengeratkan kembali hubungan kompeni Belanda dengan Siak dan dapat menempati kembali lojinya di Pulau Guntung.

Raja Alam menjadi Sultan Siak

            Pada waktu yang direncanakan, maka Raja Alam dengan bantuan kompeni Belanda datang lagi menyerang Siak. Dalam penyerangan ini, Raja Alam tidak melakukan kekerasan, karena Raja Alam tidak mau berperang melawan anak saudaranya Sultan Ismail, sedangkan puteranya Tengku Muhammad Ali dan isterinya Daeng Katijah bersama Sultan Ismail yang terus menentang kompeni Belanda yang menjadi musuh ayahandanya. Demikian juga halnya dengan Sultan Ismail yang tidak akan berperang dengan pamannya Raja Alam. Sultan Ismail menyambut kedatangan pamannya dan menyerahkan singgasana kerajaan Siak kepada Raja Alam. Perdamaian antara persaudaraan ini membuat kerajaan Siak semakin terkenal di wilayah Selat Melaka dan dunia luar lainnya.
            Setelah Raja Alam menduduki singgasana kerajaan, Kompeni Belanda menuntut janjinya kepada Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah yang dibuat tahun 1761 yang lalu. Sesuai dengan janji yang dibuat, maka Sultan Alamuddin Syah memberi izin kepada kompeni Belanda untuk membangun lojinya di pulau Guntung, dengan adanya izin tersebut, maka Belanda semakin besar menanamkan pengaruhnya di negeri Siak dan sekitarnya. Belanda diberi kesempatan untuk melakukan perdagangan di Siak secara bebas. Akibatnya pihak Belanda dapat mengeruk keuntungan cukup besar dalam perdagangan.

            Ketika Sultan Alamuddin Syah memegang kekuasaan kerajaan Siak, sebenarnya baginda menentang dengan diam-diam kebijakan yang dibuat oleh Belanda. Belanda meminta hutang-hutang perang yang dibuat oleh Sultan Alamuddin Syah pada waktu membantu beliau untuk duduk di tahta Siak, juga perjanjian tahun 1761 bahwa kehancuran kebinasaan yang dibuat oleh adiknya Sultan Mahmud waktu perang di pulau Guntung supaya diganti. Sultan Alamuddin Syah tidak mengindahkan tuntutan Belanda tersebut lalu memperkuat kedudukannya di Mempura.

            Melihat keadaan Belanda yang makin lama makin menancapkan kukunya di Siak, maka pada tahun 1767 sultan memindahkan pusat pemerintahan kerajaan dari mempura ke Bandar Senapelan yang terletak di hulu sungai Siak. Dipilihnya senapelan sebagai pusat pemerintahan adalah dengan pertimbangan bahwa daerah ini terletak pada persimpangan lalu lintas perdagangan yang sangat ramai antara lain persimpangan jalan dari Minangkabau, Kampar, Rokan, Tapung dan lain-lain. Tidak lama setelah itu di Senapelan dibangunlah sebuah pekan atau pasar yang baru untuk perdagangan. Bandar ini semakin maju dan ramai, kemudian menjadi nama Bandar Pekan (Pasar) yang dikenal dengan Pekan Baharu  dan berobah sebutannya menjadi “Pekanbaru” hingga saat ini.

            Disamping itu untuk memperluas perdagangan dan meningkatkan perekonomian rakyat, sultan membuka jalan yang menghubungi negeri Senapelan dengan daerah-daerah komoditi perdagangan yang banyak menghasilkan hasil hutan dan bumi seperti damar, rotan, kayu, lada, manisan lebah, timah dan lain-lainnya. Jalan dibuat melalui dua penjuru. Arah selatan ke negeri Teratak Buluh Cina, Lipat Kain. Arah barat ke negeri Kampar, Bangkinang, Rantau Berangin kemudian diteruskan oleh pemerintah Belanda ke Pangkalan Koto Baru. Sebelumnya itu hubungan perdagangan dengan negeri-negeri ini dihubungkan melalui sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri yang berpangkalan di Teratak Buluh kemudian barulah sampai ke Pekanbaru.

            Kompeni Belanda sangat kesal kepada Sultan Alamuddin Syah karena janjinya yang disepakati bersama tidak ditepati oleh Sultan Alamuddin. Bahkan karena kompeni Belanda semakin ingin berkuasa di negeri Siak dan tindakan Belanda telah melewati batas, Sultan Alamuddin Syah tidak mau lagi tunduk kepada kompeni Belanda. Oleh karenanya loji Belanda di Pulau Guntung terpaksa ditutup.35

            Banyak hal yang diperbuat oleh sultan keempat ini dan kesemuanya itu dilakukan dalam rangka memajukan kerajaan. Perbuatan tersebut menandakan sultan memiliki pengetahuan yang luas dan pola pikir yang jauh kedepan termasuk dalam kegiatan perkawinan. Sultan merubah tradisi yang biasa dilakukan pada saat itu yakni menikahkan anak dengan keluarga sendiri atau dari kalangan suku sendiri. Hal ini terlihat ketika sultan menikahkan puterinya yang bernama Tengku Embung Badariah dengan seorang Arab yang bernama Syarif Usman bin Syarif Abdul Rahman Syahabuddin.
Empat orang penyiar agama Islam dari negeri Arab (Yaman Tarim) yang turun ke wilayah Asia Tenggara, mereka adalah Syed Abdullah Al Qudsi, Syed Usman bin Sahabuddin, Sayid Muhammad bin Akhmad Alldrus, Sayid Husen Al Qadri. Sayid Usman meneruskan perjalanannya ke kerajaan Siak beliau memiliki garis keturunan langsung dengan Nabi Muhammad SAW sebagaimana tersebut di bawah ini:

            Sayid Usman bin Abdul Rahman bin Sayid bin Ali bin Muhammad bin Hasan bin Umar bin Hasan bin Syeh Ali bin Abu Bakar Asyakran bin Abdul Rahman As-Sagaf bin Achmad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isya bin Muhammad Annaqep bin Syaidina Ali dengan Isterinya Siti Fatimah binti Nabi Muhammad SAW.

            Kemudian Sayid Husin Alqadri meneruskan perjalanannya ke Kalimantan dan disana keturunannya menjadi Raja-raja di kerajaan Pontianak. Kehadiran Sayid Usman ini tidak begitu saja diterima oleh Sultan, namun dengan melalui proses yang panjang seperti ujian yang berat, baik agama, ketangkasan berperang, maupun nilai-nilai adab dan adatnya, semua itu sesungguhnya sangat mengagumkan Sultan. Kemudian Sultan mengadakan mufakat dengan orang-orang besar kerajaan dan kaum kerabat, maka Syarif Usman dinikahkan dengan Tengku Embung Badariah dengan mas kawin seraga mata Bajak Laut, hal dapat dipenuhi oleh Sayid Usman. (Tengku Jang, 1930).
            Perkawinan ini sangat berpengaruh terhadap pemerintahan Kerajaan Siak, sehingga Sultan-sultan Melayu yang berketurunan Arab ditandai dengan pemakaian gelar as-sayid dan as-syarif. Peletak dasar dimulai dari Sultan As-sayidis as-syarif Ali Sultan ke-7 kerajaan Siak. Karena beliau adalah anak Syarif Usman dengan Tengku Embung Badariah. Selain sebagai seorang panglima perang yang handal, Syarif Usman juga seorang yang gigih dalam pengembangan agama Islam di wilayah kerajaan. Hal ini mendapat sambutan dari sultan yang juga seorang yang taat beribadah. Setiap pelaksanaan kegiatan yang dilakukan di wilayah kerajaan beserta daerah takluknya berdasarkan prinsip Islam. Kehebatan Syarif Usman ini nantinya diwarisi oleh puteranya yang kelak menjadi Sultan di Kerajaan Siak. Bermula dari sini pula nantinya kerajaan Siak dipimpin oleh Sultan yang memiliki zuriat Arab. Artinya Syarif Usman merupakan cikal bakal suku Arab memerintah di kerajaan Siak dan mengakhiri suku Melayu karena puteranya Syarif Ali nantinya menjadi Sultan di kerajaan Siak.
            Kehadiran Syarif Usman dalam keluarga kerajaan yang kedudukannya sebagai menantu Sultan sangat berpengaruh sekali terhadap perkembangan Kerajaan Siak, karena Syarif Usman adalah seorang panglima perang yang handal. Atas izin Sultan, Syarif Usman melakukan perluasan wilayah kerajaan dengan melakukan penaklukan ke daerah-daerah di sekitar kerajaan sehingga kerajaan Siak memiliki dua belas daerah jajahan takluknya.
            Pada masa pemerintahan Sultan Alamuddin Syah, ianya membangun sebuah Mesjid di kawasan Kampung Bukit Senapelan yang diberi nama Mesjid Nur Alam yang pada saat ini telah lapuk dimakan usia dan pada masa pemerintahan Sultan Syarif Kasim II dibangun kembali mesjid di kawasan ini yang kini dikenal dengan nama Mesjid Raya.

            Perluasan Wilayah ke arah barat pulau Sumatera Seperti Batubara, Deli, Bilah dan sampai ke batas Aceh Temiang. Sewaktu beliau merebut Batubara beliau mangkat di Barat maka beliau digelar Marhum Barat. Jenazah Almarhum Syarif Usman dibawa pulang ke negeri Siak dan dimakamkan di Pekanbaru berdampingan dengan makam Sultan Alamuddin Syah. Pada tahun 1780 Sultan Alamuddin Syah mangkat dan dimakamkan di Kampung Bukit di Mesjid Raya Pekanbaru sekarang dan digelari dengan marhum Bukit.