TENGKU SYED ALI

SULTAN KETUJUH
SULTAN ASSAIDIS SYARIF ALI ABDUL JALIL SAIFUDDIN
(1784-1810)


            Ketika Sultan Yahya meninggalkan kerajaan, pemerintahan dijalankan oleh Tengku Udo Syarif Ali artinya cup detat yang dilakukan Tengku Udo Syarif Ali terhadap Sultan Yahya berhasil sehingga ianya dapat menduduki kerajaan dan mengambil alih kekuasaan. Sultan Yahya bersama pengikutnya pergi ke Terengganu melewati Retih dan melanjutkan perjalanan ke Melaka dan Singapura dan Johor. Lamanya dalam perjalanan melalui Selat Melaka dan laut Cina Selatan yang luas dan Ganas, akhirnya Sultan Yahya sampai di Terengganu dan tinggal di tanah anaknya di kampung Katijah Dungun. Disanalah beliau menghabiskan hari tuanya, karena hatinya sedih dan kecewa yang dibuat oleh sepupunya membuat beliau berfikir terus dan tidak dapat dihilangkan begitu saja. Akhirnya beliau jatuh sakit dan tidak beberapa lama kemudian Sultan Yahya mangkat dan dimakamkan di tepi sungai Dungun di Kampong Katijah, kemudian beliau bergelar Marhum Mangkat di Dungun. Dengan mangkatnya Sultan Yahya, maka segera dinobatkanlah Tengku Udo Sayed Syarif Ali sebagai Sultan Siak ke-7 dengan gelar  Sultan Assaidis Syarif Ali Abdul Jalil Saifuddin pada tahun 1784. Semenjak itulah Sultan-sultan kerajaan Siak diberi gelar Assyaidis Syarif keturunan Syarif Usman Syahabuddin yang pernah menjadi Panglima Perang pada masa Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah tahun 1766-1780. Sedangkan sebelum ini mulai dari Sultan pertama hingga sultan keenam berasal dari keturunan Melayu Johor.
            Sultan Syarif Ali mempunyai nama kecil yaitu Tengku Udo. Tengku Udo adik beradik berjumlah delapan orang yakni :
1.   Tengku Long Tih bersuamikan Sayid Syaban bin Husin Barakbah dan mendapat seorang anak lelaki yang bernama Sayid Alwi.
2.   Tengku Udo (Syarif Ali)
3.   Tengku Besar Syarif Abdurrahman  (Raja di Kerajaan Pelalawan)
4.   Tengku Panglima Besar Syarif Ahmad (yang Dipertuan Besar Tebing Tinggi atau Selat Panjang sekarang)
5.   Tengku Ngah Kelakap
6.   Tengku Hitam bersuamikan Syarif Ali bin Sayed Husen
7.   Tengku Buntat
8.   Tengku Bujang Sayid Hamid, saudara seayah lain ibu bernama Encik Jebah.
Pemerintahan Sultan Syarif Ali dijalankan dengan cara merangkul adik-adik dan saudara yang terdekat dengannya supaya memudahkan jalan pemerintahannya. Antara lain Said Abdul Rahman gelar Tengku Besar, Tengku Busu Said Ahmad bergelar Tengku Panglima Besar Siak, Tengku Long Putih dan Tengku Hitam. Semua saudaranya diberikan tugas dan jabatan dengan maksud untuk menjaga stabilitas politik di dalam negeri dan menjamin kesetiaan mereka dalam membenahi dan mengembangkan kejayaan Kerajaan Siak.38
Sultan Syarif Ali memindahkan pusat kerajaan Siak dari Mempura diseberang sungai Siak dan kemudian pusat pemerintahan diberi nama Siak Sri Indrapura, Siak nama kerajaan lama setelah kerajaan Gasib. Sri adalah  sinar yang indah, Indra adalah kayangan sedangkan Pura adalah Kota, pusat pemerintahan ini dipilih di atas tanah pasir bulan yang terletak disebuah Tanjung yang menjorok dari anak sungai Kelakap dan anak sungai Melengo sampai batas Buantan di muka kuala sungai Tonggak di tepi sungai Siak. Di tanjung yang menjorok itu dibuat benteng pertahanan dari tanah setinggi tujuh meter, sehingga memudahkan melihat dari kejauhan kapal-kapal dagang maupun kapal musuh-musuh yang datang. Oleh karena itu pusat kerajaan disebut Koto Tinggi. Benteng pertahanan dibuat dari tanah, yang tanahnya diambil dari penggalian tanah, sehingga merupakan parit besar yang disebut Suak, maka itu di kota Siak ada

_______________________________

38   Keterangan ini dapat dibaca di dalam tulisan Tenas Effendy dalam buku Lintasan Sejarah Kerajaan Siak yang diterbitkan pada tahun 1972.
Suak yang besar dan dalam bernama Suak Lanjut, Suak Kampung Dalam atau Suak Istana, Suak Alur Santai. Suak ini disamping untuk perlindungan tembakan senjata api atau meriam musuh juga digunakan untuk mengeringkan air tanah rawa di sekeliling kota Siak Sri Indrapura. Pekerja-pekerja membuat benteng ini adalah tawanan-tawanan perang yang ditangkap oleh Sultan Syarif Ali, baik sebagai perampok lanun maupun orang-orang kalah perang.
Masa pemerintahan Syarif Ali pemerintahan dipusatkan di kota Siak Sri Indrapura, kemudian baginda mengatur tata kota kerajaan. Demikian juga mengatur mengatur perkampungan serta puak-puak Datuk Empat Suku. Perkampungan puak Datuk Tanah Datar disebut Kampung Tengah, perkampungan puak Datuk Pesisir dimulai dari Kampung Tengah sampai ke sungai Melango sedangkan perkampungan puak Datuk Lima Puluh Kampung Tengah sampai ke Sungai Kelakap dan sebagian Kampung Mempura sementara perkampungan puak Datuk Kampar sebagian di Kampung Rempak. Sedangkan kaum kerabat dan orang besar Istana serta orang-orang bertugas dalam pemerintahan baik sebagai Imam Besar kerajaan dan imam Masjid, Bilal, Qadhi dan para Panglima, Hulubalang, orang sebagai penjawat Sultan, termasuk tukang masak tinggal di kampung dalam dilingkungan Istana.
Pada masa pemerintahan Sultan Sayid Syarif Ali, kerajaan Siak mencapai puncak jayanya dalam hal perluasan wilayah kerajaan Siak karena beliau mewarisi kemahiran ayahandanya Syarif Usman di medan perang. Sultan dibantu oleh saudara-saudaranya yang sama-sama mewarisi kebolehan ayahandanya. Daerah takluk kerajaan Siak sampai ke Sambas di Kalimantan sementara itu daerah-daerah tetangga sudah lebih dahulu menjadi jajahan kerajaan Siak. Adapun daerah takluk tersebut sebagai berikut :
1.   Kota Pinang
2.   Asahan
3.   Kualuh
4.   Bilah
5.   Panai
6.   Deli
7.   Langkat
8.   Batubara
9.   Serdang
10. Pelalawan – Sambas
11. Bedagai
12. Temiang

Dalam usaha mengembangkan wilayah kerajaan Siak, Kompeni Belanda tidak ikut campur, karena menurut Kompeni Belanda yang penting perjanjian tahun 1761 dapat dilaksanakan. Pengembangan wilayah kerajaan Siak dengan maksud untuk menyatukan kerajaan-kerajaan Melayu di sepanjang pantai Timur Pulau Sumatera dan di Selat Melaka.
Sebelum Sultan Syarif Ali menyerang kerajaan Melayu di Pesisir pantai Timur selat Melaka, beliau memperkuat pertahanan dalam negeri dengan menaklukkan Kubu, Bangko dan Tanah Putih karena wilayah ini telah ditaklukkan oleh pemerintahan Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah. Akibat kurang mendapat perhatian dari pusat kerajaan masa itu di Buntan ataupun di mempura, maka wilayah ini mulai membuat kekuatan sendiri dan membangkang. Oleh karena itu Sultan Syarif Ali menyatukan kembali kesatuan Siak untuk siap memperluas wilayah kerajaan yang berumpun Melayu.
Penaklukan berikutnya ditujukan kearah Pelalawan yang dikenal kerajaan Kampar di Pekan Tua dimana tempat makamnya Sultan Mahmud Syah I Melaka yang disebut Marhum Kampar. Peperangan Siak dengan Pelalawan ini sangat sengit dan memakan waktu yang lama. Penyerangan pertama dilaksanakan melalui sungai Kampar yang luas dan mengarungi Bono yang sangat ganas jika air pasang penuh. Berpuluh kapal penjajab Siak datang menyerang tetapi mengalami kegagalan karena sungai Kampar semakin ke hulu semakin sempit, apalagi kedudukan kerajaan di dalam anak sungai yang sempit, sehingga pasukan pelalawan mempergunakan pertahanan dengan melintangi sungai dari pohon-pohon kayu yang besar. Akhirnya armada perang Siak dibawah pimpinan Sayid Abdul Rahman kembali ke Siak.
Kemudian dilakukan penyerangan kedua melalui daratan, dimana pasukan Siak berjalan kaki dari Siak menuju Pelalawan sedangkan di laut atau di sungai pun didatangkan puluhan kapal dan penjajab dari Siak yang langsung dipimpin oleh Syarif Ali. Pelalawan tidak menyangka bahwa angkatan perang Siak sudah masuk kota Pelalawan, akhirnya Pelalawan menyerah dan takluk ke kerajaan Siak. 
Raja pertama kerajaan Pelalawan keturunan Arab Melayu adalah Tengku Sayid Abdurrahman adik dari Sultan Syarif Ali. Maka semenjak itu Siak dan Pelalawan berdamai menjadi satu dengan ketentuan batas kerajaan Siak dengan Pelalawan adalah batas tangga Istana Kesultanan Siak dengan Istana Sultan Pelalawan. Raja Pelalawan tidak dipanggil Sultan, hanya dipanggil Tengku Besar kerajaan Pelalawan.
Tengku Besar Syarif Abdurrahman mempunyai beberapa orang putera yang meneruskan pemerintahan di kerajaan Pelalawan yaitu:
1.   Sayid Syarif Hasim Abdul Jalil Fakhruddin, gelar Marhum Muda
2.   Sayid Syarif Ismail Abdul Jalil Fakhruddin, gelar Marhum Baru
3.   Sayid Syarif Hamid Abdul Jalil Fakhruddin, gelar Marhum Saleh
4.   Sayid Syarif Jakfar Abdul Jalil Fakhruddin, gelar Marhum Tengah
5.   Sayid Syarif Abu Bakar Abdul Jalil Fakhruddin, gelar Marhum Bungsu.
Penyerangan ke Sambas dilakukan oleh Sultan Syarif Ali dengan membawa 30 perahu membantu Sayid Abdul Rahman yang sedang berkeliaran di kepulauan Tambelan dan Natuna. Armada Syarif Ali tiba di muara sungai Sambas. Dalam perjalanan Sultan Syarif Ali mendapat bantuan dari Sultan Mahmud Lingga yang memerintahkan kepala-kepala suku di pulau-pulau, ikut membantu Sultan Syarif Ali. Pada waktu menyerang Sambas, di dalam pasukan Sultan Syarif Ali ada seorang perempuan yang dipanggil Cik Puan yang memimpin Perahu perang yang disebut Penjajab. Cik Puan ikut berperang menyerang Sambas.
Cik Puan seorang perempuan yang gagah berani memimpin anak buahnya dengan tangkas menghadang musuh, beliau berpegang di tiang layar penjajabnya jika sedang berperang di Laut. Cik Puan tidak diketahui dari mana asalnya, karena belum dapat ditemukan litaratur tentang dirinya. Akan tetapi dari cerita-cerita orang tua-tua Cik Puan berasal dari Bukit Batu. Dia seorang Ratu perkasa di kerajaan Siak yang makamnya berada di pemakaman Koto Tinggi Siak Sri Indrapura. Adapula yang menceritakan bahwa Cik Puan Isteri Sultan Syarif Ali dari negeri Tembelan Riau. Selain itu kekuatan angkatan perang Sultan Syarif Ali dibantu pula lima buah kapal dari Pontianak yang dipimpin oleh Sayid Hamid.
Pemerintah Belanda di Melaka tidak berdaya untuk mengendalikan Syarif Ali dan berusaha menenangkan Syarif Ali, baik semasa beliau bersama dengan Sultan Muhammad Ali maupun semasa Sultan Yahya. Kompeni Belanda mengingatkan supaya Syarif Ali tidak ceroboh atau membuat kerusuhan dengan Belanda dan disarankan (Tengku Bujang) putera Sayid Abdul Rahman, supaya Syarif Ali sebaiknya berminat meningkatkan perdagangan dengan Belanda dan tidak bergabung dengan musuh-musuh Kompeni.  Satu-satunya cara pemerintahan Belanda di Melaka untuk membuat Syarif Ali tidak berbahaya adalah dengan jalan perundingan dan mengusahakan membuat pekerjaan-pekerjaan yang tenang dan aman.
Sewaktu Syarif Ali menjabat sebagai panglima perang pada masa Sultan Muhammad Ali, ia pernah membuat surat yang memaksa Gubernur Belanda Couperus mengambil langkah-;angkah untuk bersatu dan menyapu bersih lanun-lanun di Selat Melaka. Dengan demikian Syarif Ali bebas menyatukan Raja-raja Melayu di sepanjang pantai timur pulau Sumatera. Dan setelah beliau dinobatkan menduduki tahta kerajaan Siak, Sultan Syarif Ali melanjutkan pengembangan wilayah kerajaan Siak dalam mempersatukan kerajaan-kerajaan Melayu di Selat Melaka, sehingga persetujuan dengan Belanda yang dibuat oleh Sultan Syarif Ali adalah merupakan tipu belaka dan mengelabui Belanda supaya jangan ikut campur urusan kerajaan Siak.
Syarif Ali adalah Sultan Kerajaan Siak yang sangat pemberani dan ahli dalam mengatur strategi perang. Beliau adalah seorang yang bijaksana dan dapat mengatur dan menempatkan orang-orangnya dalam mengatur pemerintahan dan mengatur strategi perang menghadap musuh. Beliau dibantu oleh orang-orang yang setia terutama adik-adiknya sebagaimana yang telah disebutkan sebelum ini. Datuk Laksemana Chamis yang sangat setia membantu Sultan Syarif Ali pada pertempuran di laut sampai hayatnya, setelah beliau meninggal Laksemana Chamis meninggal dunia kemudian dimakamkan di Bukit Batu, makam Datuk Laksemana Chamis terletak di Bukit Batu, nisan pusaranya memakai tiang kapal layarnya.
Dalam nota Omtrent Het Rijk Van Siak tertulis bahwa Koto Tinggi yang dijadikan pusat pemerintahan kerajaan oleh Syarif Ali pada mulanya merupakan sebuah benteng kuat untuk pertahanan dan keamanan kerajaan Siak. pada tahun 1813 Sultan Syarif Ali mangkat dan dimakamkan secara kebesaran adat Raja-raja di Koto Tinggi, disamping benteng yang pernah di buatnya. Akhirnya kawasan ini dijadikan sebagai komplek pemakaman Raja-raja dan kaum kerabatnya, disinilah Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin dimakamkan yang pertama, sehingga beliau digelari” Marhum Koto Tinggi”.