TENGKU SYED ISMAIL

SULTAN KESEMBILAN
SULTAN ASSAIDIS SYARIF ISMAIL ABDUL JALIL SAIFUDDIN
(1815-1864)

           
            Sebenarnya pada masa pemerintahan sultan Ibrahim terjadi perselisihan antara anak-anaknya yang berambisi mewarisi kerajaan. Sementara itu Sayid Muhammad yang merupakan putera Tengku Busu (adik Sultan Syarif Ali) yang telah menikah dengan Tengku Mandak bersepakat dengan Tengku Sayid Hasim yang telah menjabat sebagai Tengku Besar Pelalawan (anak Sayid Abdul Rahman), akan menjadi Raja Muda di Siak. Oleh karena itu perebutan kekuasaan tidak dapat dinetralisir lagi kerena banyak yang berambisi untuk menjadi sultan. Sehubungan dengan itu, maka Dewan Kerajaan bermusyawarah dan hasilnya menetapkan serta mengangkat salah seorang putera Sayid Muhammad bin Sayid Ahmad (adik Syarif Ali) yang bernama Tengku Sayid Ismail dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Assaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Saifuddin yang ketika itu masih kecil.
            Sultan Ismail adalah anak Tengku Puan (Syarifah Saidah) dan cucu dari Syarif Ali (Sultan Siak ke-7). Ayahanda Tengku Ismail ialah Tengku Sulung Muhammad atau Sayid Muhammad anak dari Tengku Busu Sayid Ahmad Yang Dipertuan Muda Tebing Tinggi. Sultan Syarif Ismail tiga beradik seibu dan sebapak yaitu :
1.  Tengku Syarif Hasim dengan nama kecil Tengku Kecil Besar. Pada masa Sultan Syarif Ismail memerintah, ianya diangkat sebagai panglima Besar kerajaan Siak. Beliau mangkat di Pekanbaru dan jenazahnya dimakamkan di komplek pemakaman Koto tinggi Siak Sri Indrapura
2.    Tengku Putera atau nama lain Syarif Ahmad. Pada masa Sultan Ismail memerintah diangkat sebagai Mangkubumi Onder Kuning. Tengku Putera mangkat di Bukit Batu dan jenazahnya dipindahkan ke komplek pemakaman Koto Tinggi pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasim dan diberi gelar marhum Mangkunegara.
3.    Tengku Syarif Kesuma yang dikenal dengan nama Sayid Kasim. Pada masa Sultan Syarif Ismail beliau diangkat sebagai Panglima Besar Kerajaan Siak menggantikan abangnya Tengku Sayid Hasim. Kemudian nantinya diangkat menjadi Sultan Siak.
Sultan Syarif Ismail mempunyai saudara sebapak lain ibu (ibu yang bernama Encek Jentera) yaitu Tengku Endut dan Tengku Umar. Adapun yang menjadi permaisuri Sultan Syarif Ismail adalah anak Sultan Syarif Ibrahim yang bernama Tengku Syarifah Zahrah dan diberi gelar Tengku Agung (I) dan setelah mangkat diberi gelar Marhumah Agung. Kemudian Sultan Syarif Ismail menikah lagi dengan Tengku Mas Intan dengan gelar Tengku Besar. Tengku Mas Intan adalah anak perempuan Panglima Besar Muda Syarif Toha atau dikenal dengan marhum Tebing Tinggi.
Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Ismail terjadi pemindahan kedudukan Datuk Laksemana yang sebelumnya berkedudukan di Bengkalis kemudian dipindahkan ke Bukit Batu. Perpindahan ini terjadi semasa Datuk Laksemana Chamis. Datuk Laksemana Chamis adalah putera Encik Ibrahim (yang bergelar Datuk Laksemana Sri Maharaja Lela Setia Diraja bin Datuk Bandar Jamal dengan isterinya Encik Saimah. Datuk Laksemana Chamis dilantik sebagai Datuk Laksemana pada masa pemerintahan Sultan Syarif Ali.
Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim, terjadi persaingan antara puteranya yang bernama Tengku Putera dengan Tengku Ismail putera Tengku Muhammad. Keduanya berkeinginan untuk menduduki tahta kerajaan Siak dengan dengan mangkatnya Sultan Ibrahim, Datuk Empat Suku mengadakan musyawarah untuk menentukan pengganti Sultan Ibrahim, dengan hasil mufakat Datuk Empat Suku maka terpilih Tengku Ismail sebagai Sultan Kerajaan Siak ke-9, dinobatkan pada tahun 1815 dengan gelar Sultan Assaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Saifuddin.
Sultan Assaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Saifuddin, sultan yang sangat sederhana tingkah laku kehidupannya, beliau mempunyai Istana yang sangat sederhana yang terletak di pinggir Sungai Siak, terbuat dari papan dan kayu nibung dan bertiang tinggi, beratap Melayu Lipat Kajang dengan diberi nama “ Istana Melintang”, ruang tengah istana cukup luas dan ada sebuah ruangan yang khusus untuk menerima tamu yang dihormati.
Waktu Tuan Assisten Residen E. Netscher bersama J.S.G. Gramberg menghadap Sultan Ismail. Sultan Ismail memakai pakai baju Melayu beledru bewarna kuning yang ketat, sedang didadanya tersemat sejenis bintang berlian. Sultan diikuti oleh para pengikutnya ada yang membawa tepak sirih dari emas, payung kuning, keris dan pedang yang bernama “sundang” yang indah. 41 Candu memang dibenarkan masuk di wilayah kerajaan Siak dengan cukai yang diambil oleh Belanda, candu adalah sengaja disebarkan untuk penduduk Siak dengan maksud oleh pemerintah Belanda agar rakyat bias semakin bodoh dan malas. Dalam pengaturan pemerintah banyak yang berserakkan. Pemerintahan di kerajaan Siak dilaksanakan oleh Mangkubumi kerajaan, Pangeran Tengku Sulung Negara, beliau tidak suka mengisap candu, disegenap kesempatan adanya perbincangan dan pertemuan dengan orang asing ditangani oleh Mangkubumi, untuk mendapatkan suasana yang lebih baik pada negeri dan rakyatnya.
Meskipun Sultan Ismail sudah dinobatkan sebagai sultan, namun perselisihan dengan saudaranya dari keluarga Sultan Syarif Ibrahim tidak selesai bahkan tetap berlanjut dan berketerusan. Di dalam negeri terjadi beberapa pemberontakan seperti di Bangko, Kubu dan Tanah Putih yang diambil oleh Tengku Do. Pemberontakan ini gagal karena Tengku Do tertembak mati dan dimakamkan di Kota Ringin di seberang Kota Buantan..      
Walaupun pemberontakan ini sudah dapat dipatahkan, tetapi pertentangan di kerajaan Siak masih berlangsung terus antara Tengku Putera dengan Sultan Ismail, Tengku Putera banyak mempunyai pengikut yang sulit untuk dapat dikalahkan, untuk mengatasi perselisihan tersebut Sultan Ismail meminta bantuan Inggris sehingga Tengku Putera berhasil dikalahkan. Sultan Ismail meminta bantuan Wilson seorang petualang bangsa Inggris yang berada di Bengkalis, untuk dapat menghancurkan pasukan dan orang-orang Tengku Putera. Wilson bersedia membantu Sultan Ismail, asalkan ada upah atau balas jasa dan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan bersama yakni Inggris diberi kesempatan masuk ke Siak. Oleh karena itu, Wilson membawa orang-orang Eropa dan Bugis yang berada di Singapura untuk membantu Sultan Ismail di Siak menghadapi pemberontakan Tengku Putera. Wilson dan pasukannya dapat memadamkan pemberontakan Tengku Putera sehingga Tengku Putera terpaksa menyingkir ke Kampar dan kemudian terus berkelana di Laut Cina Selatan.
Akan tetapi perjanjian dengan Wilson tidak semuanya dapat dipenuhi oleh Sultan Ismail. Wilson hanya dibolehkan menduduki pulau Bengkalis. Keinginan Wilson untuk menguasai pulau tersebut dan akan membuat pelabuhan guna mengawasi perdagangan dari pulau Sumatera melalui Sungai Siak dan Kampar serta Sungai Rokan tidak mendapat persetujuan dari Sultan Ismail sehingga Wilson marah dan bertindak akan menghancurkan Sultan Ismail dengan kerabat-kerabatnya. Dengan diizinkannya inggris masuk ke Siak maka akibatnya inggris menjadi sewenang-wenang terhadap Sultan dan Kerajaan. Hal ini pula yang membuat Sultan dan pembesar kerajaan meminta bantuan Belanda untuk mengusir Inggris. Belandapun menggunakan kesempatan baik ini sehingga Sultan Ismail pada tahun 1857 meminta bantuan melalui Residen Belanda di Riau untuk menghalau Wilson dari Bengkalis.
Dengan terusirnya Inggris oleh Belanda, maka Belanda membuat perjanjian dengan Sultan pada tahun 1858. Perjanjian tersebut dikenal dengan nama Traktat Siak. Perjanjian ini sangat merugikan kerajaan Siak sehingga dikalangan Istana timbul pertentangan dan perpecahan.   
Pada tanggal 26 September 1845 Gubernur Belanda Jenderal Rochussen mengeluarkan surat perintah atas kebijaksanaannya harus diperjuangkan peluasan wilayah dengan pelahan-lahan dan cara damai, atau kalau perlu dengan kekerasan bersenjata, tetapi tindakan Gubernur ini belum mendapat persetujuan dari pemerintah pusat Belanda di Batavia dan menyarankan yang sangat penting dapat mempertahankan wilayah yang telah kita kuasai, serta tidak boleh mengeluarkan uang yang begitu banyak, demi untuk kepentingan tanah air Belanda, karena expedisi militer itu sangat berharga harus di buat perencanaan secara matang, sebab gerakan militer itu mahal harganya. 42 Akhirnya pada tahun 1858 pemerintah Belanda dengan kerajaan Siak yang dipimpin oleh Sultan Ismail dipaksa membuat perjanjian pada tanggal 1 Februari 1858, yang isinya melepaskan Deli, Serdang, Langkat dan Asahan masuk ke dalam kekuasaan pemerintah Belanda.
Dengan adanya perjanjian Sultan kepada Hindia Belanda, maka Sultan Ismail sudah terkena perangkap dari politik Belanda yang sangat licik itu, sehingga bermacam bentuk tindakan yang dilakukan oleh Belanda kepada Sultan juga sangat menyusahkan kehidupan rakyat seperti adanya pajak nelayan, pajak monopoli pemasukan candu dan garam, bea masuk sungai, pajak lalu lintas, bagi orang asing serta pajak hasil hutan, semuanya menjadi hak Belanda. 43

Di sepanjang sungai Siak semakin ke Hulu semakin lebat dan tinggi pohon-pohon hutan, hal itu merupakan lumbung dari hasil alam seperti tumbuh-tumbuhan, minyak seminai, kemenyan, buah-buahan, berjenis-jenis kayu, rotan, damar, madu, lilin lebah, gaharu dan hewan-hewan yang ganas, seperti harimau, gajah, beruang dan ular cukup banyak berkeliaran. Di samping itu hewan-hewan lain seperti rusa, kancil, pelanduk, trenggiling, buaya cukup memberikan penghasilan bagi rakyat Siak.